BAB I
LATAR BELAKANG
Dewasa ini, permasalahan tata
ruang di ibukota yang semakin menumpuk disadari atau tidak akan membuat
menurunnya kualitas tata ruang itu sendiri. Berbagai macam pembangunan
gedung-gedung megah, apartemen, pusat perbelanjaan, pemukiman maupun fasilitas
pendidikan tidak selalu membawa keuntungan bagi masyarakat, bahkan banyak yang
merugikan masyarakat. Menurunnya kualitas tata ruang akibat menyusutnya ruang
terbuka hijau, berkurangnya kawasan tangkapan air, kemacetan lalu lintas yang
semakin memburuk, merebaknya pedagang kaki lima yang kurang tertib, mall-mall
yang tumbuhnya tidak terkendali, kerawanan pangan akibat lahan pertanian
beralih fungsi, adalah beberapa contoh situasi yang saat ini dihadapi kota-kota
di Indonesia. Permukaan jalan yang seluruhnya hampir tertutup aspal, konstruksi-konstruksi
beton yang berdiri melebihi kapasitas tanah, tersumbatnya saluran drainase oleh
sampah, galian-galian pipa dan kabel yang tidak kunjung selesai dan lain-lain
yang semua itu sebagai akibat pembangunan DKI Jakarta yang dilaksanakan secara
tidak terpadu.
Curah hujan di atas normal yang
terjadi selama beberapa hari berturut-turut di Jakarta semestinya tidak akan
sampai menimbulkan banjir apabila kebijakan lokal dalam penataan ruang
benar-benar memperhatikan perlunya kawasan tangkapan air. Akibatnya fatal,
banjir besar kemudian melanda seluruh wilayah Jakarta secara merata.
Penyimpangan tata ruang terhadap
area resapan air kenyataannya mencakup berbagi wilayah dalam berbagai skala.
Sebut saja, kawasan Kelapa Gading, Sunter, Cakung, Cilincing, serta Hutan Angke
Kapuk adalah contoh-contoh kawasan yang menyimpang dari peruntukan semula
berdasarkan ketetapan Perda No.5 Tahun 1984 tentang RUTR Jakarta 2005.
Para pengamat lingkungan
mencemaskan bukan hanya bencana banjir yang akan mengancam warga Jakarta
apabila penyimpangan area resapan air terus terjadi. Pasalnya, apabila
dalam beberapa waktu ke depan hal ini belum terselesaikan, maka dikhawatirkan
bencana yang lebih dahsyat akan terjadi, yaitu keracunan tinja.
Hal tersebut diakibatkan
karena jumlah limbah tinja warga Jakarta yang per-harinya mencapai 3.000
ton tidak lagi dapat ditampung oleh lingkungan lantaran tidak ada lagi situ
ataupun danau yang telah tergantikan oleh mall dan gedung perkantoran.
BAB 2
A. PENGERTIAN TATA RUANG
Menurut pasal 1 ayat 3 UU No.24
Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, penataan ruang adalah proses perencanaan
tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Adapun
tujuan dari penataan ruang dalam konteks hukum positif Indonesia meliputi tiga
hal (pasal 3 UU.24/1992) :
1.
Terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan
lingkungan yang berlandaskan wawasan nusantara.
2.
Terselenggaranya pemanfaatan ruang kawasan
lindung dan kawasan budi daya.
3.
Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas
untuk :
·
Mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi
luhur dan sejahtera.
·
Mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber
daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia.
·
Meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan
sumber daya buatan secara berdaya guna, berhasil guna, dan tepat guna untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
·
Mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan
mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan.
·
Mewujudkan keseimbangan kepentingan kepentingan
kesejahteraan dan keamanan.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992
yang terdiri dari 32 pasal ini menyatakan bahwa setiap orang berhak menikmati
manfaat ruang termasuk pertambahan ruang sebagai akibat penataan ruang,
mengetahui rencana tata ruang, pemanfaatan tata ruang, dan pengendalian
pemanfaatan tata ruang, memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang
dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan
rencana tata ruang. Disamping hak, dinyatakan bahwa setiap orang berkewajiban
berperan serta dalam memelihara ruang dan berkewajiban menaati rencana tata
ruang yang diterapkan.
B. ANALISA DAN PEMBAHASAN
Penyimpangan tata ruang Kawasan Timur Jakarta
Reklamasi di sepanjang Kawasan
Timur Jakarta menjadi perdebatan di banyak kalangan, jelas hal ini dikarenakan
dampak jangka panjang yang akan dialami oleh masyarakat Jakarta terutama di
wilayah reklamasi, seperti Muara Angke, Muara Baru, Cilincing dan Cakung. Secara
umum, reklamasi dideskripsikan KBBI sebagai kegiatan pengurukan tanah dari
dasar sungai atau laut. Termasuk didalamnya kegiatan pembentukan daratan buatan
atau pemanfaatan lahan nggak terpakai. Nah, karena berhubungan langsung dengan
bentuk alamiah lingkungan, kegiatan ini perlu disertai bermacam pertimbangan sebelum
bisa dilakukan. Namun ternyata banyak pemerintah daerah melupakan kewajibannya
untuk melakukan penataan dan pengendalian atas pemanfaatan ruang terhadap
tindak reklamasi tanah untuk dampak jangka panjang. Dalam kaitan dengan itu,
banyak kritikan ditujukan kepada para penata kota (planner) yang bertindak
seakan-akan tindak memperhatikan akibatnya terhadap lingkungan. Bukan hanya
itu, para penata kota bahkan dilihat sebagai destroyer dari mega proyek
permukiman yang ada.
Lebih dalam seputar reklamasi,
kegiatan pengurukan tanah ini sebenarnya memiliki beberapa keuntungan, seperti
:
- Perluasan lahan. Hal ini menjadi solusi atas kurangnya lahan kosong untuk permukiman dan kawasan jasa yang sudah melebihi kapasitas di tengah Ibukota.
- Menjadi kawasan wisata. Memberikan prospek pariwisata baru yang menonjolkan sumber daya laut dan panorama alam yang berbeda.
- Menjadi kawasan konservasi alam. Mampu menjadi wadah penangkaran biota laut dan karang maupun perlindungan terhadap flora dan fauna lain.
Namun, diatas itu semua,
reklamasi tetap memiliki dampak baik secara langsung maupun tidak terhadap
lingkungan sekitar, yakni :
- Merusak ekosistem laut. Kemungkinan terbesar atas dampak pembangunan konstruksi yang berkepanjangan, tercemarkan biota dan matinya karang akibat persentase timbal yang tinggi menjadi kasus yang tak kunjung usai.
- Memicu perubahan struktur tanah. Lapisan tanah baru tidak selama kokoh dan stabil, hal ini dapat mengakibatkan keamblesan tanah secara berkala.
- Memicu eksploitasi pasir & tanah illegal. Pembuatan lahan reklamasi yang membutuhkan tanah dalam skala besar menjadi pemicu oknum tidak bertanggungjawab menguruk tanah dari kawasan yang tidak diijinkan.
Jauh sebelum kontrovesi Teluk Jakarta
terhadap pembangunan pihak swasta mendirikan mega proyek permukiman, Kawasan
Cakung Jakarta Timur telah mengalami reklamasi lahan rawa menjadi rusunawa
warga nelayan. Rawa Penggilingan menjadi satu dari sekian area resapan air yang
telah beralih fungsi menjadi kawasan hunian tersebut. Lahan sejumlah 5 hektar
hanya tersisa 1 hektar di tahun 2002 silam. Permukaan tanah yang semakin
menurun, tidak adanya penghijauan, tak heran jika Kawasan Timur Jakarta ini
selalu langganan banjir.
Penyimpangan tata ruang inilah
yang pada akhirnya berdampak pada pencemaran lingkungan dalam jangka panjang, salah
satunya ialah banjir. Meluapnya air sungai membawa sejuta wabah penyakit yang
mampu merugikan warga. Belum lagi dampak lain yang berkaitan dengan saluran
pembuangan yang bermuara di sungai, jika sungai meluap maka segala sesuatu yang
sifatnya ‘sampah’ akan menyebar ke seluruh kawasan yang terkena banjir. Keracunan
tinja menjadi isu yang akhir-akhir ini dipertimbangkan akan menjadi ancaman
bagi pemerintah Ibukota yang lalai memperhatikan tata ruang kota dan hanya fokus
melakukan reklamasi lahan untuk kepentingan beberapa pihak.
Faktor penyebab penyimpangan tata ruang Kawasan Timur Jakarta
Salah satu kritik yang sering
dilontarkan masyarakat dalam penataan ruang adalah bahwa rencana tata ruang
belum cukup efektif sebagai alat kendali pembangunan, terbukti dengan maraknya
berbagai macam penyimpangan. Penyimpangan tata ruang terjadi pada daerah
administrasi Jakarta. Pada kawasan Timur Jakarta bahkan sudah sampai pada
tingkatan yang mengkhawatirkan karena dampak yang ditimbulkannya sangat
meresahkan.
Sebagai contoh di wilayah
reklamasi pemerintah DKI Jakarta yang semakin merambah disepanjang pantai telah
menimbulkan berbagai macam permasalahan antara lain kemacetan lalu lintas,
kesemrawutan bangunan, pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan dan lain
sebagainya.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi
? Siapakah yang bersalah ? Mengapa semua saling lempar kesalahan kepada pihak
lain. Aparat menuding hal tersebut sebagai ulah masyarakat yang tidak mau
patuh kepada ketentuan yang berlaku, sebaliknya masyarakat menuding hal
tersebut karena kelemahan dan kecurangan aparat.
Beberapa faktor yang menyebabkan
terjadinya penyimpangan tata ruang dan semua punya andil dalam hal tersebut,
yakni sebagai berikut :
1.
Lemahnya pengawasan dan penertiban.
2.
Tidak ada peraturan yang cukup jelas
3.
Tidak adanya sinkronisasi perijinan
4.
Perilaku kolusip oknum
5.
Ketidak adilan rencana kota
6.
Prosedur perizinan yang berbelit-belit
7.
Terpaksa karena tidak punya pilihan
Dampak penyimpangan tata ruang Kawasan Timur Jakarta
Keadaan metropolitan yang semakin buruk; pemerintah dearah
yang hanya ‘memanjakan’ pengembang tanpa peduli terhadap keseimbangan alam,
hilangnya kawasan tangkapan air dihampir seluruh wilayah Jakarta memberikan dampak
berupa pencemaran lingkungan dalam skala luas. Beberapa dampak pencemaran
lingkungan buruk yang dapat ditimbulkan dari adanya lingkungan yang tercemar antara
lain sebagai berikut:
1.
Terganggunya keseimbangan lingkungan
Pencemaran lingkungan akan dapat menyebabkan dampak berupa
ketidakseimbangan lingkungan atau eksositem (baca: ekosistem
darat dan ekosistem air)
yang ada. Hal ini jelas terjadi karena pencemaran lingkungan otomatis akan
merusak keadaan yang mulanya baik menjadi tidak baik. Ketika terjadi pencemaran
maka akan banyak pihak yang terganggu, bukan hanya manusai namun juga binatang
hingga tumbuh- tumbuhan.
2.
Punahnya berbagai spesies flora dan fauna
Pencemaran lingkungan ini sangat besar pengaruhnya dalam
mempengaruhi keadaan lingkungan. Ketika polutan sudah masuk ke dalam lingkungan
hidup, maka akan mematikan beberapa jenis flora dan fauna yang telah hidup. Hal
ini didukung oleh keadaan kekebalan setiap flora dan fauna yang berbeda- beda
pula.
3.
Berkurangnya kesuburan tanah
Pencemaran lingkungan juga akan menyebabkan terjadinya
pengurangan kesuburan pada tanah (baca: ciri-ciri
tanah subur). Penurunan kesuburan pada tanah ini diakibatkan oleh
penggunaan isektisida yang berlebihan. Ketika penggunaan insektisida ini
berlebihan, maka hal ini akan mencemari tanah. Akibatnya tanah akan kehilangan
kesuburannya sedikit demi sedikit dan produktivas tanah dapat terganggu.
4.
Meledaknya pertumbuhan hama
Penggunaan insekstidida yang berlebihan juga dapat
menyebabkan lingkungan yang tercemar. Insektisida ini juga akan mematikan
predator. Ketika predator ikut punah karena terkena insektisida, maka
pertumbuhan hama ini akan menjadi berkembang pesat. Bahkan pertumbuhan hama ini
akan tumbuh secara berlebihan dan tanpa kendali. Hal ini tentu saja akan
merugikan banyak pihak. Apabila hama yang muncul ini tidak dapat
dikendalikan maka akan menjadi menjadi bencana alam. Bisa jadi manusia tidaka
kan mendapatkan jatah makanannya karena jatah makanan tersebutsudah dimakan
hama sebelum siap memanennya.
5.
Menyebabkan terjadinya lubang ozon
Pencemaran lingkungan akan menyebabkan kerusakan pada
lingkungan tersebut. Salah satunya berupa menipisnya lubang ozon. Ketika lubang
ozon sudah semakin menipis, maka hal ini lama kelamaan akan menjadi berlubang.
Kita semua mengetahui bahwasannya lapisan ozon sangat
membantu untuk melindungi Bumi dari paparan sinar ultraviolet secara langsung.
Apabila lapisan ozon ini berlubang maka otomatis hal ini akan menyebabkan sinar
ultraviolet menyinari Bumi secara langsung.
Sinar ultraviolet ini sangat berbahaya karena dapat
menimbulkan berbagai macam penyait, seperti kanker kulit, mematikan binatang-
binatang laut, dan sebagainya. Penipisan lapisan ozon ini terjadi karena adanya
penumpukan gas- gas rumah kaca yang terdiri dari gas- gas
karbonmonoksida atau CO, karbondioksida atau CO2, dan lain sebagainya.
6.
Terjadi pemekatan hayati
Pemekatan hayati juga merupakan salah satu dampak yang akan
ditimbulkan dari adanya pencemaran lingkungan. Proses pemekatan hati ini akan
dapat diartikan sebagai peningkatan kadar bahan pencemar yang melalui tubuh
makhluk hidup tertentu. pemekatan hayati ini juga disebut sebagai
amnalgamasiasi. Sebagai contoh untuk menggambarkan kasus ini adalah suatu
perairan yang telah tercemar.
Suatu perairan yang tercemar, maka bahan pencemar yang ada
di air tersebut akan menempel pada alga yang hidup di di wilayah perairan
tersebut. Ketika alga tersebut dimakan ikan- ikan kecil maka ikan kecil akan
terkontaminasi bahan pencemar. Ketika ikan- ikan kecil tersebut dimakan oleh
ikan- ikan besar, maka ikan besar juga akan mengandung berbagai bahan pencemar
yang dimiliki oleh ikan kecil. Dan ketika ikan- ikan besar ditangkap nelayan
dan dimakan oleh manusia, maka bakteri atau polutan tersebut akan masuk ke
dalam tubuh manusia melalui ikan-ikan besar tersebut. Kasus inilah yang
merupakan pemekatan hayati.
7.
Menyebabkan keracunan dan penyakit
Ketika manusia mengonsumsi beberapa makanan yang yang berupa
hewan atau tumbuhan yang telah terkontaminasi bahan pencemar, maka segala
kemungkinan buruk bisa terjadi. Beberapa kemungkinan buruk dari
mengonsumsi bahan makanan yang tercemar adalah keracunan atau meninggal dunia. Atau jika itu tidak
terjadi, maka kemungkinan yang paling kecil adalah terserang virus penyakit. Keracunan tinja dapat menjadi contoh
ancaman di masyarakat yang harus dipertimbangkan oleh pemimpin daerah saat ini.
BAB 3
KESIMPULAN DAN SOLUSI
Dalam menata sebuah kota, seorang
planner maupun pemerintah harus bekerjasama dengan baik. Harus mempertimbangkan
beberapa aspek-aspek penting agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari,
diantaranya :
- Berorientasi pada masa depan dalam jangka waktu panjang,
- Memberikan fasilitas dan kenyamanan kepada masyarakat secara terpadu,
- Tetap menyediakan ruang terbuka hijau yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan sebuah kota,
- Pemerintah juga harus tegas dalam mengatur dan menerapkan berbagai macam kebijakan tata ruang kota agar tercipta sebuah kota yang sangat kondusif serta nyaman untuk ditinggali.
Ada beberapa kondisi yang menjadi
pra-syarat untuk mewujudkan penataan kota yang baik, yang sulit ditemui pada
praktik penataan kota-kota di Indonesia saat ini :
Pertama, aparat pemerintah yang
akan mengambil keputusan hendaknya memahami peraturan tata ruang. Masalah yang
sekarang banyak dihadapi oleh kota-kota di Indonesia adalah, tidak saja banyak
aparat pemerintah yang belum memahami aturan ini, bahkan banyak kota-kota yang
belum memiliki peraturan dengan lengkap. Lebih jauh lagi, banyak dari mereka
yang juga belum mengetahui bagaimana cara menyusun peraturan tata ruang yang
baik. Tidak semua daerah sudah memiliki planner yang profesional dalam jajaran
birokrasinya. Kalaupun ada penata kota, mereka bisa jadi diberi tugas dan
ditempatkan di instansi yang tidak sesuai dengan kompetensinya.
Kedua, pemerintah daerah bersama stakeholders lain perlu menjaga agar peraturan tata ruang ini diterapkan dengan konsisten. Keputusan-keputusan penting tentang ruang, seperti juga keputusan tentang uang (APBD) adalah keputusan politik. Tidak mengherankan jika banyak intervensi dari kepala daerah, politisi, maupun investor dalam pengambilan keputusan tentang ruang. Mekanisme pemberian perizinan, yang pada hakekatnya adalah upaya untuk mengendalikan pemanfaatan ruang, justru menjadi media untuk memberikan keleluasaan pada pihak tertentu yang diberi izin untuk melanggar penataan ruang.
Ketiga, adanya pengawasan
masyarakat dan penertiban terhadap pelanggaran yang terjadi. Sebetulnya di
beberapa daerah berbagai komponen civil society seperti akademisi, seniman dan
budayawan, mahasiswa, aktivis, bahkan jurnalis dari media massa sudah sangat
aktif bersuara manakala mereka menemukan adanya indikasi pelanggaran tata
ruang. Namun kenyataannya peran masyarakat serupa ini tidak memiliki legitimasi
yang kuat dan tidak cukup berpengaruh untuk mengubah kebijakan dan keputusan
yang diambil oleh pemerintah kota.
Sumber :