ASAL USUL SUKU BUGIS
Suku Bugis atau to Ugi’ merupakan salah satu suku dari sekian banyak suku
di Nusantara, kelompok etnik ini berasal dari Sulawesi Selatan. Asal usulnya berawal
dari para pendatang Melayu dan
Minangkabau yang datang ke Sulawesi sejak awal abad ke – 15 untuk menjadi tenaga
administrasi dan pedagang di wilayah Kerajaan Gowa pada waktu itu. Tercatat
sebanyak enam juta orang populasi orang Bugis diseluruh Indonesia menurut
sensus tahun 2000, mereka tersebar ke berbagai provinsi di Indonesia seperti
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, DKI Jakarta, Kalimantan Timur,
Kalimantan Tengah dan masih banyak lagi. Masyarakat Bugis terkenal akan jiwa
perantau yang mereka miliki, sehingga tak heran jika banyak dari mereka yang
pergi merantau hingga mancanegara. Orang Bugis
zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi
titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia
bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi
(Pelras, The Bugis, 2006).
Pada awal mulanya, Bugis merupakan suku yang tergolong ke dalam suku-suku
Melayu Deutero dan masuk ke Nusantara dari daratan Asia yakni Yunan. Bugis
berasal dari kata To Ugi’ yang artinya ialah orang Bugis, merujuk pada
raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten
Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi
menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki
dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi.
Suku Bugis mulai berkembang menjadi beberapa bentuk kerajaan, mereka mulai
mengembangkan adat kebudayaan, bahasa, aksara serta pemerintahan mereka
sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo,
Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Proses pernikahan menjadi suatu faktor penyebab suku Bugis mengalami
pertalian dengan suku lainnya seperti Makassar dan Mandar.
ADAT DAN SPIRITUAL SUKU BUGIS
Adat Bugis pada dasarnya bersumber dari konsep ade‘ (adat) merupakan
tema sentral dalam teks–teks hukum dan sejarah orang Bugis. Namun, istilah ade‘
itu hanyalah pengganti istilah–istilah lama yang terdapat di dalam teks-teks
zaman pra-Islam, kontrak-kontrak sosial, serta perjanjian yang berasal dari
zaman itu. Masyarakat tradisional Bugis mengacu kepada konsep pang‘ade‘reng
atau “adat istiadat”, berupa serangkaian norma yang terkait satu sama lain. Selain konsep ade‘ secara umum yang
terdapat di dalam konsep pang‘ade‘reng, terdapat pula bicara (norma hukum),
rapang (norma keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat), wari‘ (norma yang
mengatur stratifikasi masyarakat), dan sara‘ (syariat Islam) (Mattulada,
Kebudayaan Bugis Makassar : 275-7; La Toa). Tokoh-tokoh yang dikenal oleh
masyarakat Bugis seperti Sawerigading, We‘ Cudai, La Galigo, We‘ Tenriabeng,
We‘ Opu Sengngeng, dan lain-lain merupakan tokoh–tokoh yang hidup di zaman
pra-Islam.Tokoh–tokoh tersebut diyakini memiliki hubungan yang sangat erat
dengan dewa–dewa di kahyangan. Bahkan diceritakan dalam La Galigo bahwa saudara
kembar dari Sawerigading yaitu We‘ Tenriabeng menjadi penguasa di kahyangan.
Sehingga konsep ade‘ (adat) serta kontrak-kontrak sosial, serta spiritualitas
yang terjadi di kala itu mengacu kepada kehidupan dewa-dewa yang diyakini.
Adanya upacara-upacara penyajian kepada leluhur, sesaji pada penguasa laut,
sesaji pada pohon yang dianggap keramat, dan kepada roh-roh setempat
menunjukkan bahwa apa yang diyakini oleh masyarakat tradisional Bugis di masa
itu memang masih menganut kepercayaan pendahulu-pendahulu mereka.
Banyak perubahan yang terjadi secara signifikan pada masyarakat Bugis
setelah diterimanya Islam masuk ke dalam kehidupan sehari-hari. Upacara–upacara
penyajian, kepercayaan akan roh-roh, pohon yang dikeramatkan hampir sebagian
besar tidak lagi melaksanakannya karena bertentangan dengan pengamalan hukum
Islam. Pengaruh Islam ini sangat kuat dalam budaya masyarakat bugis, bahkan
turun-temurun orang–orang bugis hingga saat ini semua menganut agama Islam. Pengamalan
ajaran Islam oleh mayoritas masyarakat Bugis menganut pada paham mazhab
Syafi‘i, serta adat istiadat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariat
Islam itu sendiri. Budaya dan adat istiadat yang banyak dipengaruhi oleh budaya
Islam tampak pada acara-acara pernikahan, ritual bayi yang baru lahir (aqiqah),
pembacaan surat yasin dan tahlil kepada orang yang meninggal, serta menunaikan
kewajiban haji bagi mereka yang berkemampuan untuk melaksanakannya.
Seiring berkembangnya kebudayaan Bugis, budaya Bguis yang diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari mengajarkan hal–hal yang berhubungan dengan akhlak
sesama, seperti mengucapkan tabe‘ (permisi) sambil berbungkuk setengah badan
bila lewat di depan sekumpulan orang-orang tua yang sedang bercerita,
mengucapkan iyé (dalam bahasa Jawa nggih), jika menjawab pertanyaan sebelum
mengutarakan alasan, ramah, dan menghargai orang yang lebih tua serta menyayangi
yang muda. Inilah di antaranya ajaran–ajaran suku Bugis sesungguhnya yang
termuat dalam Lontara‘ yang harus direalisasikan dalam kehidupan sehari–hari
oleh masyarakat Bugis.
RUMAH TINGGAL SUKU BUGIS
Pada umumnya, rumah orang
Bugis berbentuk rumah panggung dari kayu berbentuk segi empat panjang dengan
tiang-tiang yang tinggi memikul lantai dan atap. Konstruksi rumah dibuat secara
lepas-pasang (knock down) sehingga bisa dipindahkan dari satu tempat ke tempat
lain.
Orang Bugis memiliki pandangan bahwa rumah tidak hanya
sekedar tempat tinggal tetapi juga sebagai ruang pusat siklus kehidupan. Tempat
manusia dilahirkan, dibesarkan, kawin, dan meninggal. Karena itu, membangun
rumah haruslah didasarkan tradisi dan kepercayaan yang diwarisi secara turun
temurun dari leluhur. Konstruksi berbentuk panggung yang terdiri atas tingkat
atas, tengah, dan bawah diuraikan yaitu :
Tingkat atas digunakan untuk
menyimpan padi dan benda-benda pusaka. Tingkat tengah, yang digunakan sebagai
tempat tinggal, terbagi atas ruang-ruang untuk menerima tamu, tidur, makan dan
dapur. Tingkat dasar yang berada di lantai bawah diggunakan untuk menyimpan
alat-alat pertanian, dan kandang ternak. Rumah tradisional bugis dapat juga
digolongkan berdasarkan status pemiliknya atau berdasarkan pelapisan sosial
yang berlaku.
TEKNOLOGI DAN PERALATAN SUKU BUGIS
Sejak dahulu, suku Bugis di
Sulawesi Selatan terkenal sebagai pelaut yang
ulung. Mereka sangat piawai dalam mengarungi lautan dan samudera luas hingga ke
berbagai kawasan di Nusantara dengan menggunakan perahu Pinisi. Dengan perkembangan teknologi dan peralatan yang
dimiliki oleh masyarakat Bugis maka tak heran jika mereka mampu mengarungi
luasnya samudra dengan sangat baik.
1. Perahu Pinisi
Perahu Pinisi termasuk alat
transportasi laut tradisional masyarakat Bugisyang sudah terkenal sejak berabad-abad
yang lalu. Menurut cerita di dalam naskah
Lontarak I Babad La Lagaligo, Perahu Pinisi sudah ada sekitar abad
ke-14M. Menurut naskah tersebut, Perahu Pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading, Putra Mahkota Kerajaan
Luwu. Bahan untuk membuat perahu tersebut
diambil dari pohon welengreng (pohon dewata) yang terkenal sangat kokoh dan tidak mudah rapuh. Namun,
sebelum pohon itu ditebang, terlebih dahulu dilaksanakan upacara
khusus agar penunggunya bersedia pindah ke pohon
lainnya. Hingga saat ini, Kabupaten Bulukumba masih dikenal sebagai
produsen Perahu Pinisi.
2. Sepeda dan Bendi
Sepeda ataupun Dokar, koleksi
Perangkat pertanian Tadisional ini adalah bukti
sejarah peradaban bahwa sejak jaman dahulu bangsa indonesia khususnya masyarakat Sulawesi Selatan telah dikenali
sebagai masyarakat yang bercocok tanam. Mereka menggantungkan hidupnya pada
sektor pertanian terutama tanaman
padi sebagai bahan makanan pokok.
3. Koleksi peralatan menempa besi
dan hasilnya
Jika anda ingin mengenali lebih
jauh tentang sisi lain dari kehidupan masa lampau
masyarakat Sulawesi Selatan, maka anda dapat mengkajinya melalui koleksi trdisional menempa besi, Hasil
tempaan berupa berbagai jenis senjata tajam,
baik untuk penggunan sehari – hari maupun untuk perlengkapan upacara adat.
4. Koleksi Peralatan Tenun
Tradisional
Dari koleksi Peralatan Tenun
Tradisional ini, dapat diketahui bahwa budaya
menenun di Sulawesi Selatan diperkirakan berawal dari jaman prasejarah,yakni
ditemukan berbagai jenis benda peninggalan kebudayaan dibeberapa daerah seperti leang – leang
kabupaten Maros yang
diperkirakan sebagai pendukung pembuat pakaian dari kulit kayu dan serat –
serat tumbuhan-tumbuhan. Ketika pengetahuan manusia pada zaman itu mulai
Berkembang mereka menemukan cara yang lebih baik yakni alat pemintal tenun
dengan bahan baku benang kapas. Dari sinilah mulai tercipta berbagai jenis
corak kain saung dan pakaian tradisional.
BAHASA DAN LITERATUR SUKU BUGIS
Bahasa sehari-hari orang Ugi ialah bahasa keluarga besar dari bahasa
Austronesia Barat. Disisi lain, ornag Bugis juga memiliki aksara sendiri yaitu
aksara lontara yang berasal dari bahasa Sansekerta. Keunikan yang dimiliki
masyarakat Bugis dalam berbahasa yakni logat berdasarkan daerah asal
masing-masing, ada yang memiliki logat yang cenderung keras dan kasar namun
juga ada yang berlogat lebih lembut dan halus.
KESENIAN SUKU BUGIS
Alat musik
1. Kacapi (kecapi) Salah satu
alat musik petik tradisional Sulawesi Selatan khususnya sukuBugis, Bugis
Makassar dan Bugis Mandar. Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau diciptakan
oleh seorang pelaut, sehingga bentuknya menyerupai perahu yang memiliki dua
dawai, diambil karena penemuannya dari tali layar perahu.
2. Sinrili, Alat musik yang
mernyerupai biola tetapi biola di mainkan dengan membaringkan di pundak
sedangkan Singrili di mainkan dalam keedaanpemain duduk dan alat diletakkan
tegak di depan pemainnya.
3. Gendang Musik , perkusi yang
mempunyai dua bentuk dasar yakni bulat panjang danbundarseperti rebana.
4. SulingSuling bambu/buluh,
terdiri dari tiga jenis, yaitu:
• Suling panjang (suling lampe),
memiliki 5 lubang nada. Suling jenis ini telahpunah
• Suling calabai (Suling
ponco),sering dipadukan dengan piola (biola) kecapidan dimainkan bersama
penyanyi
• Suling dupa samping (musik
bambu), musik bambu masih terplihara didaerahKecamatan Lembang. Biasanya
digunakan pada acara karnaval (barisberbaris) atau acara penjemputan tamu.
Seni Tari
• Tari pelangi; tarian
pabbakkanna lajina atau biasa disebut tari meminta hujan.
• Tari Paduppa Bosara; tarian
yang mengambarkan bahwa orang Bugis jika kedatangan tamu senantiasa
menghidangkan bosara, sebagai tanda kesyukuran dan kehormatan
• Tari Pattennung; tarian adat
yang menggambarkan perempuan-perempuan yang sedang menenun benang menjadi kain.
Melambangkan kesabaran danketekunan perempuan-perempuan Bugis.
• Tari Pajoge’ dan Tari Anak
Masari; tarian ini dilakukan oleh calabai(waria), namun jenis tarian ini sulit
sekali ditemukan bahkan dikategorikan telahpunah.
• Jenis tarian yang lain adalah
tari Pangayo, tari Passassa ,tari Pa’galung, dan Tari Pabbatte (biasanya di
gelar padasaat Pesta Panen).
PERNIKAHAN SUKU BUGIS
Mappabotting ialah upacara adat perkawinan suku Bugis di Sulawesi Selatan.
Mappabotting yang dalam bahasa Bugis memiliki arti ‘mengadakan upacara
perkawinan’ tersebut tersusun dalam beberapa tahap yakni pra perkawinan, pesta
perkawinan, dan pasca perkawinan.
Tahap – tahap dalam perkawinan secara adat :
1. Lettu ( lamaran)
1. Lettu ( lamaran)
Ialah kunjungan keluarga si laki-laki ke calon mempelai perempuan
untuk menyampaikan keinginan nya untuk melamar
calon mempelai perempuan
2. Mappettuada. (kesepakatan pernikahan)
Ialah kunjungan dari pihak
laki-laki ke pihak perempuan untuk membicarakan waktu pernikahan, jenis sunrang atau mas kawin,balanja atau belanja perkawinan penyelanggaran pesta dan
sebagainya
3. Madduppa (Mengundang)
Ialah kegiatan yang dilakukan
setelah tercapainya kesepakayan antar kedua bilah pihak untuk memberi tahu
kepada semua kaum kerabat mengenai
perkawinan yang akan dilaksanakan.
4. Mappaccing (Pembersihan)
Ialah ritual yang dilakukan
masyarakat bugis (Biasanya hanya dilakukan oleh kaum bangsawan), Ritrual ini
dilakukan pada malam sebelum
akad nikah di mulai, dengan mengundang para kerabat dekat sesepuh dan orang yang dihormati untuk melaksanakan ritual ini,
cara pelaksanaan nya dengan menggunakan daun pacci (daun pacar), kemudian para undangan di persilahkan
untuk memberi berkah dan doa restu kepada calon mempelai, konon bertujuan untuk membersihkan dosa calon
mempelai, dilanjutkan dengan sungkeman kepada kedua orang tua calon mempelai pasangan pengantin. Hari
pernikahan dimulai dengan mappaenre balanja, ialah prosesi dari mempelai laki-laki disertai rombongan dari
kaum kerabat, pria-wanita, tua-muda, dengan membawa macam-macam makanan,
pakaian wanita, dan mas-kawin ke rumah mempelai wanita. Sampai di rumah
mempelai wanita langsung diadakan upacara pernikahan,dilanjutkan dengan akad
nikah. Pada pesta itu biasa para tamu memberikan kado tau paksolo’. setelah
akad nikah dan pesta pernikahan di rumah mempelai wanita selesai dilalanjutkan
dengan acara “mapparola” yaitu mengantar mempelai wanita ke rumah mempelai
laki-laki. Beberapa hari setelah
pernikahan para pengantin baru mendatangi keluarga mempelai laki-laki dan
keluarga mempelai wanita untuk bersilaturahmi dengan memberikan sesuatu yang
biasanya sarung sebagai simbol perkenalan terhadap keluarga baru. Setelah itu,
baru kedua mempelai menempati rumah mereka sendiri yang disebut nalaoanni alena
mappaenre botting.
WATAK SUKU BUGIS PADA UMUMNYA
Acap kali, masyarakat Bugis dikenal sebagai kelompok yang memiliki perangai
kasar, penaik darah, suka mengamuk dan rela mati hanya untuk suatu perkara. Akar
dari munculnya karakter suku Bugis tersebut sebenarnya dapat dipahami lebih
seksama lagi dengan mempelajari dalil-dalil, pepatah-pepatah, sejarah dan
adat-istiadat orang bugis. Ada suatu pemahaman dimana tindakan rela mati
tersebut sebagi suatu tindakan terhormat untuk membela sesuatu yang berharga
dimata mereka, oleh orang Bugis Makassar menganggap telah menunaikan dan
menyempurnakan salah satu tuntutan tata hidup dari masyarakatnya yang disebut
adat.
Selain itu, kedua suku Bugis
Makassar tersohor sebagai kaum pelaut yang berani sejak dahulu kala hingga
sekarang. Sebagai pelaut yang kerap ‘bergaul’ dan akrab dengan angin dan
gelombang lautan, maka sifat-sifat dinamis dari gelombang yang selalu bergerak
tidak mau tenang itu, mempengaruhi jiwa dan karakter orang Bugis Makassar. Ini
lalu tercermin dalam pepatah, syair atau pantun yang berhubungan dengan keadaan
laut, yang kemudian memantulkan bayangan betapa watak atau sifat kedua suku
bangsa itu.
Jika diamati lebih dekat, orang Bugis memiliki hati yang halus dan lembut
dibalik perangai mereka yang kasar, suku bangsa ini lebih banyak
mempergunakan perasaannya daripada pikirannya. Ia lebih cepat merasa. Begitu halus
perasaannya sampai-sampai hanya persoalan kecil saja dalam cara mengeluarkan
kata-kata di saat bercakap-cakap, bisa menyebabkan kesan yang lain pada
perasaannya, yang dapat menyebabkan kesalahpahaman. Tapi, jika telah mengenal jiwa dan wataknya atau
adat istiadatnya, maka dapat
dipahami bahwa suku Bugis juga berkarakter sosok peramah, sopan santun, bahkan
kalau perlu ia rela mengeluarkan segala isi hatinya, bahkan rela mengorbankan nayawa sekalipun.